SEORANG jemaah mushola terkejut ketika tubuhnya di dorong oleh seseorang di belakangnya agar maju ke shaf depan.
“Maju,” kata pria yang mendorongnya.
Bapak usia di atas 50 tahun itu menoleh dan melihat siapa yang mendorongnya. Mereka berdua bertetangga dan akrab, kerap bercanda.
Tapi, bapak itu menolak permintaan kawannya untuk mengisi kekosongan shaf, dan memilih kembali mundur ke belakang.
“Lu aja gak mau (di depan),” katanya pada pria yang mendorongnya.
Itu pengalaman yang saya lihat langsung sewaktu sholat berjemaah di sebuah mushola.
Kasus kedua soal ‘angkernya’ shaf depan sholat berjemaah itu terjadi ketika sholat Tarawih di salah satu masjid di Perumahan Waykandis, Tanjungsenang, Bandar Lampung.
Saya melihat bagaimana ketika mulai sholat, bapak yang usianya mungkin mendekati angka 60 itu, tampak berat sekali maju ke depan, meski satu slot terlihat kosong di depannya..
Bapak-bapak yang ada di barisan depan sudah menoleh ke belakang, mengajak bapak tadi untuk maju. Tapi yang bersangkutan bersikukuh tak mau.
Agar tak lagi diminta maju, ia mengangkat tangannya sebagai tanda takbir mulainya sholat. Walhasil, yang di depan terpaksa menggeser badan agar shaf tidak kosong.
Pernah juga saya melihat satu peristiwa ketika seorang bapak di atas 60 tahun menyolek seorang pria muda di depannya agar maju mengisi shaf yang kosong di depan.
Pria muda tadi menolak bergerak. “Bapak aja, yang tua yang maju ke depan,” kata pemuda tadi dengan nada ketus.
Beberapa kasus tadi adalah sedikit dari kasus-kasus keengganan jemaah berdiri di shaf depan sholat berjemaah.
Banyak jemaah seperti sangat ‘ketakutan’ untuk berdiri di shaf depan, khususnya di belakang imam shaf pertama atau kedua. Padahal, imam sholat, khususnya yang sudah senior, jarang sekali melakukan kesalahan.
Lalu, mengapa banyak jemaah enggan maju ke barisan terdepan?
Dalam investigasi singkat, para jemaah mengungkapkan alasan beraneka ragam. Ada yang mengatakan, ‘belum sanggup’. (Diartikan: tak sanggup jadi pengganti jika imam berhalangan atau melakukan kesalahan). Ada juga yang beralasan panas. Dan yang lebih ekstrim mengatakan, ‘mager’ alias malas gerak. Busyet.
Padahal, shaf pertama itu memiliki banyak keutamaan.
Seorang muslim yang berada pada shaf pertama ketika sholat berjamaah akan mendapatkan keutamaan berupa pahala yang besar. Meskipun sejatinya, sholat berjamaah, di shaf mana pun tetap akan mendapatkan pahala yang lebih besar daripada sholat sendiri.
Sholat berjamaah dianjurkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dijelaskan dalam hadits HR Bukhari.,
Artinya: “Sholat jamaah lebih baik 27 derajat dibanding sholat sendirian.”
Dalam sholat berjamaah, umat muslim hendaknya berlomba-lomba menempati shaf pertama. Ada banyak keutamaan yang bisa diraih dengan sholat di shaf terdepan.
Mengutip buku Panduan Lengkap Ibadah Menurut Al-Quran, Al-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama oleh Muhammad Al-Baqir, dijelaskan ada beberapa hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang keutamaan shaf pertama langsung di belakang imam ketika sholat berjamaah.
Rasulullah SAW bersabda, (HR.Muslim)
Artinya: “Seandainya manusia mengetahui keutamaan yang terdapat pada adzan dan shaf pertama, kemudian mereka tidaklah akan medapatkannya kecuali dengan diundi, niscaya pasti mereka akan mengundinya.”
Karena itu, setiap makmum dianjurkan agar senantiasa berusaha menempati shaf pertama tersebut, dan tidak duduk di shaf-shaf lainnya sebelum shaf pertama dipenuhi para makmum.
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda, (HR. Abu Dawud, shahih)
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang yang shalat di shaf pertama.” (HR. Abu Dawud, shahih)
Kemudian dalam menanggapi sabda Rasulullah SAW tersebut, para sahabat bertanya, “Apakah juga kepada orang-orang yang berada di shaf kedua wahai Rasulullah?” kemudian Rasulullah berkata, “Juga kepada orang-orang di shaf kedua.” (HR Ahmad dan Ath Thabrani)
Meski demikian, Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi menyatakan, sebaik-baiknya shaf paling depan diisi oleh jemaah yang memiliki keutamaan yang sama dengan imam atau sedikit di bawahnya. Tujuannya agar mereka pantas untuk menggantikan imam apabila terjadi sesuatu pada imam misalnya, berhadatas.
Keutamaan shaf pertama seperti penjelasan hadits di atas, berlaku untuk para makmum pria, atau makmum perempuan dalam suatu sholat jamaah yang hanya dihadiri oleh kaum perempuan saja.
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (dalam HR Muslim):
Artinya: “Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah yang paling depan, dan yang paling jelek adalah yang paling belakang. Sebaik-baik shaf bagi wanita adalah yang paling belakang, dan yang paling jelek adalah yang paling depan.”
Hadits ini menjelaskan jika sholat tersebut dihadiri oleh kaum pria dan perempuan bersama-sama, maka yang lebih afdal bagi perempuan ialah justru shaf-shaf paling belakang, yang agak terpisah dari saf-saf kaum pria. Tujuannya adalah agar tidak bercampur baur antara kaum pria dan perempuan.
Anjuran Meluruskan dan Merapatkan Shaf
Hal yang juga harus menjadi perhatian ketika mendirikan sholat berjamaah yakni meluruskan dan merapatkan shaf. Sangat dianjurkan bagi imam-sebelum memulai shalatnya agar memerintahkan para makmum meluruskan shaf mereka masing-masing.
Selain itu, dianjurkan juga untuk mengisi kekosongan yang mungkin masih ada di antara shaf-shaf sholat.
Rasulullah SAW mengajarkan agar imam menyerukan:
“Rapatkanlah barisan kalian dan luruskanlah shaf-shaf kalian.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam hadis lainnya yang juga dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, beliau menyerukan:
“Luruskanlah shaf-shaf kalian, sebab hal itu termasuk kesempurnaan sholat.” (ilo/dtc)
GIPHY App Key not set. Please check settings