JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memprediksi kalangan emak-emak akan menjadi sasaran empuk serangan pajar di Pemilu 2024.
Begitu dikatakan Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat (Dikmas) KPK Wawan Wardiana saat meluncurkan kampanye “hajar serangan fajar”di Pemilu 2024.
Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat (Dikmas) KPK Wawan Wardiana menjelaskan, berdasarkan dari tahun 2018 atau saat masa Pilkada serentak, 95 persen masyarakat menilai calon yang akan dipilih harus memiliki uang banyak.
Menurutnya, hal yang terjadi di masyarakat tersebut kurang sehat dalam menekan angka korupsi di Tanah Air. Namun, ada juga masyarakat memilih karena sudah mengenal pasangan calon pemimpinnya.
Penelitian KPK ini seakan berkorelasi dengan penelitian yang dilakukan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) yang menyatakan serangan fajar di Pemilu diistilahkan ‘sudah menjadi budaya’.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di 2019 mengeluarkan hasil kajiannya, yakni 47,4 persen masyarakat membenarkan masih ada praktik politik uang di pemilu serentak di 2019. Kemudian 46,7 persen masyarakat menganggap politik uang wajar.
“Karena politik uang ini membuat politik jadi berbiaya tinggi. Bukan tidak boleh mengeluarkan uang, biaya politik pasti ada, tapi untuk hal yang sesuai kebutuhannya. Jika melihat kajian KPK tadi dan penelitian UGM, ternyata biaya politik digunakan ke hal lain,” ujar Wawan dalam sambutannya di peluncuran kampanye di gedung KPK, Jumat (14/7).
Lantas, kelompok mana saja yang menjadi sasaran empuk politik uang atau yang dikenal serangan fajar di Pemilu?
Wawan menjelaskan, hasil kajian KPK bersama Deep Indonesia, dari sejumlah pemilih 2019 yang dijadikan responden, 72 persen menerima politik uang.
Kemudian dibedah lagi, dari 72 persen tersebut, ternyata 82 persennya adalah perempuan berusia 35 tahun ke atas. Jika dikelompokkan berdasarkan umur yang terbesar yakni 36-50 tahun, jumlahnya mencapai 60 persen.
“Umur 36-50 (tahun) ini mungkin ibu-ibu atau emak-emak kali ya, dan kalau dilihat dari data ini, power of emak-emak itu emang kuat,” ujar Wawan.
Wawan menbajabarkan, ada faktor-faktor yang menjadi alasan perempuan mendapat angka tertinggi menerima politik uang, sembako atau bentuk lain.
Pertama, kebutuhan ekonomi, kedua, tekanan pihak lain. Tekanan pihak lain ini contohnya yang memberikan serangan fajar baik berupa uang, sembako dan sebagainya adalah orang dihormati, semisal ketua RT.
“Kan enggak enak sama ibu atau Pak RT atau orang-orang tertentu yang membagikan yang menurut dia orang-orang yang harus dihormati. Sehingga ada rasa ewuh pakewuh atau sungkan untuk tidak menerima,” ujarnya.
Faktor ketiga yakni permisif dan risiko hukum yang diterima kecil atau bahkan tidak jelas karena dianggap biasa. Faktor terakhir adalah ketidaktahuan.
Wawan juga membeberkan hasil penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, yakni 75,49 persen orang menganggap politik uang tidak wajar. Angka ini turun dibanding 2021 yakni 77,25 persen. Artinya, di tahun lalu, orang yang menganggap politik uang itu wajar, bertambah.
“Harapannya di 2023 ini orang yang menganggap politik uang tidak wajar kembali meningkat. Untuk itu, KPK berupaya memberikan edukasi berupa sosialisasi dan kampanye anti-politik uang. Ini tidak mungkin dilakukan KPK sendiri dan kami mengajak seluruh komponen masyarakat bersama-sama menggaungkan menolak politik uang, hajar serangan fajar,” pungkas Wawan.
Merambah Penyelenggara Pemilu
Sementara Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja mengatakan praktik politik uang tidak hanya terjadi di lingkup pemilik suara, namun praktik kotor tersebut telah merambah ke penyelenggara pemilu.
Rahmat Bagja mengatakan, upaya pencegahan politik uang dan serangan fajar terus dilakukan lembaganya, salah satunya dengan meluncurkan indeks kerawanan pemilu. Namun berdasarkan pantauannya, praktik tersebut kian masif dan berkembang luas.
“Dari (Pemilu) tahun 2019, politik uang itu sekarang sudah merambah kepada penyelenggara pemilu,” kata Rahmat Bagja dalam peluncuran kampanye “Hajar Serangan Fajar” yang digelar di Gedung ACLC C1 KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (14/7) sore.
Hadir dalam acara itu, Ketua KPK RI, Firli Bahuri, serta sejumlah pejabat dan politisi yang hadir.
Meski tak menjabarkan secara gamblang penyelenggara pemilu yang dimaksud, Bawaslu RI memastikan terus bekerja sama dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan lembaga lain untuk mengawal suara pemilih hingga akhir penghitungan.
“Kami menjaga agar 1 suara yang hadir di TPS sampai pada rekapitulasi penghitungan akhir di KPU. Suara (yang disalurkan) di TPS harus dijaga,” sambungnya.
Oleh karena itu, Bawaslu RI berharap KPU RI sebagai lembaga yang melakukan penghitungan suara bersikap transparan.
“Kami mendorong KPU seluas-luasnya dan setransparan mungkin membuat penghitungan suara yang lebih baik lagi,” katanya dalam acara yang turut dihadiri Ketua KPU RI, Hasyim Asyari. (rmc)
GIPHY App Key not set. Please check settings