SIAPA kira dosa yang kubuat di masa lalu terus menggelayut dalam kehidupanku. Ternyata, kejujuran tak selamanya harus dikatakan.
—
Sebut saja aku Nana. Tentu bukan nama sebenarnya. Aku seorang dokter dan praktek di salah satu rumah sakit swasta di kota A.
Jujur saja kukatakan, saat ini aku tak lagi menikmati kebahagiaan dalam rumahtangga. Alasannya simpel saja, suamiku gampang marah dan sangat ringan tangan.
Sebenarnya bukan cuma tangan. Kakinya pun sering melayang ke tubuhku. Dan itu tidak terjadi sekali dua kali dalam empat tahun perjalanan rumah tangga kami.
Kemarin, paha ku ditendang. Jilbab yang kupakai juga sobek karena direnggut paksa olehnya. Ia mendadak marah ketika aku minta izinnya untuk keluar rumah.
Oke, aku ceritakan detailnya. Malam itu aku bermaksud membeli obat untuk anak kami yang sudah beberapa hari batuk.
Semula ia membolehkan. Namun, ketika aku akan pergi, dia berkata, “Pergi sana dan jangan pulang lagi!”
Aku tersinggung mendengarnya. Dan kutanya apa maksud dari ucapannya itu. Tapi balasan dari pertanyaanku adalah kaki dan tangannya. Sangat menyakitkan.
Kesabaranku habis. Aku tak ingin terus-terusan hidup seperti ini. Dianiaya dan diintimidasi. Dan yang membuatku muak, ia selalu mengungkit masa lalu yang sebenarnya sudah sangat ingin aku lupakan.
Dan aku memutuskan untuk melaporkan penganiayaan itu ke polisi. Kukuatkan laporan polisi itu dengan hasil visum di salah satu rumah sakit di kotaku. Tak perduli jika akhirnya laporan polisi ini jadi pintu kami untuk bercerai.
—
Kuakui, adalah kesalahanku menyampaikan sebuah informasi saat ia mengajakku menikah empat tahun lalu. Informasi tentang aibku di masa lalu.
Sebenarnya aku tak ingin menyampaikan ini padanya. Aku ingin menyimpannya rapat dan menguburnya dalam-dalam sebagai kisahku yang kelam.
Namun, kuubah keputusanku. Aku putuskan memberitahu aib itu padanya, agar dia tahu bahwa wanita yang dicintainya bukanlah wanita sempurna.
Sengaja kubuka agar tak ada kedustaan diantara kami. Atau yang paling terpahit, sengaja kuceritakan biar dia punya alasan untuk meninggalkanku.
Biar dia tahu bahwa aku memang tidak sebersih yang dilihatnya. Aku wanita yang kotor.
Pembaca, aib itu sesungguhnya merupakan keterpaksaan. Bukan karena keinginan dan gaya hidup. Tapi saat itu, melakukan aib itu, kunilai jadi satu-satunya solusi menyelesaikan studiku.
Aku hanyalah seorang gadis kampung yang punya cita-cita tinggi menjadi dokter. Setelah lulus SMA, aku nekat minta izin orangtuaku untuk mendaftar salah satu universitas kedokteran di ibukota provinsi. Dan siapa kira, ternyata aku diterima.
Dan kuliah di fakultas kedokteran itu tidak murah. Ada sangat banyak uang yang harus dikeluarkan untuk biaya ini-itu. Di awal-awal saja, orangtuaku di kampung sudah harus pontang-panting mencari uang. Aku pun berusaha nyari kerja sampingan.
Tapi itu semua tidak cukup. Biaya kuliahku terlalu besar untuk seorang anak kampung. Aku seringkali harus hidup prihatin agar uang yang dikirim bapak cukup untuk membayar segala kebutuhan.
Hingga mendekati semester akhir, sebuah tawaran gila datang menghampiriku.
Seorang teman, sebut saja namanya Wandah, memintaku melayani hasrat seseorang dengan imbalan yang sangat besar.
“Itu kalau kamu mau Nina. Kalau enggak, ya gak usah dipikirin,” katanya waktu itu.
Wandah adalah teman yang kukenal dari teman. Ia lebih tua sedikit dariku. Parasnya cantik dan tubuh yang bagus. Dia anak kuliahan juga, walau sejujurnya aku tak pernah lihat dia memegang buku atau belajar.
Meski juga mengaku datang dari desa, Wandah terlihat cukup keren. Uangnya banyak. Dan ia seringkali mentraktir kami makan.
Belakangan aku tahu, ternyata ia penjaja seks kelas elit. Dan tarifnya sangat mahal.
Suatu hari, dia datang mengajakku makan di luar. Katanya, seseorang yang berduit melihatku bersamanya. Dia terpikat dan siap bayar mahal (maaf tak bisa kusebutkan berapa nominalnya).
Batinku berkecamuk. Antara takut dan keinginan dapat uang. Apalagi saat itu aku sangat butuh uang. Tak cuma buat bayar uang praktek kuliah, uang sewa kamar kos juga sudah menunggak dua bulan.
Di satu sisi, bapak di kampung juga tak memberi jawaban saat aku menelponnya beberapa hari lalu. Kata ibu, bapak tengah sakit dan sudah hampir dua minggu tak berdagang.
Imanku yang tipis akhirnya menerima tawaran itu. Kutemui pria itu di salah satu hotel mewah. Tidak muda tapi juga tidak terlalu tua. Dan dengan uang yang banyak, kuserahkan keperawananku padanya.
Uang itu memang menyelesaikan masalah studiku. Tapi di sisi lain menimbulkan penyesalan yang sangat mendalam.
—
Akhirnya aku menyelesaikan kuliahku dengan nilai terbaik. Dan kemudian berhasil menambah titel ‘dr’ di depan namaku beberapa tahun kemudian.
Dengan gelar itu aku berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah rumah sakit swasta. Namun masih dokter umum. Karena kondisi keuangan, aku belum bisa mengejar spesialis.
Nah, di saat jadi dokter umum ini aku bertemu dengan Edwin. Dia sangat menarik dan keren.
Singkat kata, dia berhasil meluluhkan hatiku. Dan kami akhirnya berpacaran.
Ia sangat serius. Aku seringkali dibawanya ke rumah. Dikenalkan pada keluarganya.
Melihat keseriusannya itu lah yang membuat aku gugup. Aku tak pede. Sebab, aku bukan lagi wanita yang suci. Sudah ternoda oleh laki-laki lain.
“Apa harus aku menceritakannya?” begiu batinku berulang-ulang.
Sejujurnya aku takut kehilangannya. Namun aku lebih takut dengan konsekuensi jika Edwin tahu kebenaran itu setelah kami menikah.
Sampai suatu hari, aku akhirnya nekat memberitahu, ketika ia tiba-tiba memberikan cincin padaku.
Kuceritakan padanya kisah itu. Kisah perjuangan seorang calon dokter yang menjual kehormatannya demi uang. Tak ada yang kukurangi. Juga tidak kulebih-lebihkan.
Dan dia terdiam. Hanya kulihat wajahnya memerah seperti menahan marah dan sedih.
Hari berikutnya, Edwin menghilang. Dia yang biasanya rajin SMS, mendadak hilang. Sekali dua kali aku SMS, tapi tak ada balasan.
Hatiku terasa hancur. Sangat sedih. Tapi aku cukup tau diri dan gengsi. Meski sayang, aku tak ingin mengemis cintanya.
Sampai tiba-tiba dia datang ke tempat kerjaku. Minta waktu buat ngobrol. Dari obrolan itu, Edwin mengaku tetap akan menikahiku dengan seluruh kekurangan dan aib masa lalu.
“Tidak ada manusia yang sempurna,” begitu katanya waktu itu.
Tapi setelah menikah, ucapan itu ternyata hanya sebatas teori. Faktanya, dia selalu mengungkit itu ketika kami bertengkar. Ia sangat pencemburu dan gampang marah.
Kekerasan pertama kali terjadi ketika delapan bulan pernikahan kami. Padahal, saat itu aku tengah mengandung anaknya.
Aku yang terlambat pulang dituduhnya macam-macam. Selingkuh atau ada main dengan pria lain. Padahal, demi Tuhan, aku tak pernah memikirkan laki-laki lain selain dirinya.
Satu tamparan keras di pipi kanan memang sakit. Tapi sakit di hati rasanya jauh lebih pedih dari kerasnya tamparan itu.
Kejadian terus terulang dan berulang. Bahkan untuk urusan yang sangat sepele. Dan yang paling menyakitkan adalah ketika kata-kata ‘lonte’ keluar dari mulutnya.
“Astagfirullah’.
Kakiku terasa limbung. Hampir aku jatuh pingsan. Ternyata, ia terus mengingat dosa itu. Aib yang dulu katanya siap ia terima. (ilo)
Redaksi: Hanya ilustrasi. Apabila ada kesamaan nama dan tempat hanya kebetulan semata
GIPHY App Key not set. Please check settings