KARIN terkejut melihat seseorang wanita dengan wajah menyeramkan menatap lekat pada dirinya. Jaraknya dengan wanita berbaju putih itu sangat dekat sekali.
Ia ingin menjerit dan membaca sesuatu. Tapi tak ada sepatah kata yang bisa keluar dari mulutnya. Sementara wajah hancur itu terus menatap seperti ingin menelannya bulat-bulat.
Ini memang terjadi saat ia tidur. Tapi itu bukan mimpi. Peristiwa itu seperti nyata. Dan anehnya, terus berulang setiap malam. Dimulai setelah beberapa hari ia bekerja di sebuah toko dagang itu.
**
Sudah lebih dari setengah tahun Karin menganggur usai menamatkan studi di bangku SMA. Ia tak terobsesi untuk kuliah.
Sadar diri dengan kondisi ekonomi keluarga, ia lebih memilih untuk mencari kerja, agar bisa membantu meringankan beban orangtuanya.
Suatu hari, seorang paman datang memberi kabar jika sebuah toko usaha dagang tengah mencari karyawan perempuan.
“Asal kamu mau, kamu sudah pasti kerja di sana besok. Dia lagi butuh karyawan perempuan muda,” kata Lek Dimin, adik ayahnya.
Karin begitu senang mendengar kabar itu. “Apa syaratnya lek,” katanya.
“Kamu cuma harus bawa surat lamaran sebagai formalitas. Bos mintanya begitu,” ujarnya lagi. “Tapi nanti bisa langsung kerja,” tambahnya.
Karin mengangguk. “Siap. Makasih lek,”.
*
Dan ketika pagi masih menunjukkan pukul 07.00 WIB, Karin sudah bersiap ingin berangkat. Satu berkas surat lamaran dengan segala tetek bengek persyaratan sudah disiapkannya di dalam bundel map berwarna kuning.
Setelah sarapan, ia langsung bergegas pergi. “Ma, Karin pergi dulu,” katanya.
“Apa nggak kepagian. Ini masih jam 7. Yang punya toko juga belum bangun kali mbak,” kata Mama.
Karin tersenyum mendengar canda mamanya.
“Biar nunggu dikit Ma. Jangan sampai Karin telat. Nggak enak,” katanya lagi.
Mama mengangguk dan melepas kepergian anak tertuanya itu dengan senyum. Berdoa agar pekerjaan baru itu memberi tambahan wawasan dan jalan keluar dari kejenuhan menganggur selama beberapa bulan belakangan ini.
Dengan angkot, Karin berangkat menuju lokasi yang diberitahu pamannya. Tidak terlalu sulit juga mencarinya karena toko usaha dagang itu berada di tengah pusat kota.
Karin yang antusias, tak ingin datang terlambat. Ada tekad dan semangat yang ingin ia tunjukkan pada bos barunya.
**
Usaha dagang itu hanya berupa ruko biasa. Bukan kantor yang besar. Dari luar, bahkan terkesan kusam dan suram.
Karin masuk ke dalam. Pandangan pertama, ia bertemu beberapa pekerja yang terlihat acuh tak acuh melihat kedatangannya.
Tapi tak lama kemudian, seorang wanita keturunan chinese datang menghampiri. Usianya sekitar 60 tahun. Namun, meski sudah umur tapi ia terlihat pandai merawat tubuhnya. Wajahnya cantik dengan tubuh padat berisi.
Sejenak wanita itu menatap tajam dirinya. Tapi hanya beberapa detik kemudian, ia tersenyum.
“Siapa namanya?” katanya.
“Karin bu,” jawabnya.
“Sudah pernah bekerja sebelumnya?” katanya lagi.
“Belum bu,”
Wanita itu terlihat puas mendengar jawaban Karin.
“Ayo kita masuk ke dalam,” katanya.
Dibawanya Karin dalam satu ruangan seukuran 3 x 3 meter. Hanya mereka berdua di dalam ruangan itu.
“Oke Karin, kamu bisa langsung kerja. Hari ini lihat saja dulu apa yang bisa dikerjakan,” katanya.
“Oh ya, kamu bakal digaji Rp50 ribu perhari plus tambahan Rp5 ribu buat transport. Jadi totalnya kamu menerima Rp55 ribu per hari,” katanya.
“Selain itu, kamu juga bakalan dapet bonus. Besarnya gak usah dikasih tau sekarang. Tapi pasti ada,” tambahnya lagi.
Karin mengangguk setuju. Ia tak banyak protes dengan angka yang ditawarkan. Sebagai seorang yang baru pertamakali bekerja, Karin menilai angka-angka itu cukup bagus.
“Oh ya, kamu punya kawan?” katanya lagi.
“Buat apa bu?” tanya Karin.
“Kalau kamu punya kawan perempuan. Ajak dia bekerja di sini besok. Bisa langsung kerja sebagai kasir,” katanya.
Karin lalu teringat pada sahabatnya, Yuli yang saat itu juga tengah mencari kerja.
“Ada bu. Biar nanti saya coba hubungi,” katanya.
“Oke. Kalau begitu, ikut saya. Saya kenalkan dengan pekerja di sini dan sekalian melihat kondisi di sini,” katanya.
Keduanya lalu berkeliling. Sang bos mengenalkan Karin dengan beberapa karyawan senior di tempat itu. Dan seperti juga ketika ia datang, mereka seperti tak antusias dengan kehadiran Karin.
“Ah biarin aja. Yang penting tak saling ganggu,” batin Karin dalam hatinya.
Berikutnya Karin banyak melihat banyak ruangan di tempat itu. Meski besar tapi kebersihannya terkesan tidak dijaga. Dan banyak ruangan di ruko itu seperti sengaja tidak diberikan penerangan yang cukup. Hanya ruangan kasir yang terlihat agak lebih terang. Sisanya redup.
Apalagi gudang penyimpanan barang dan beberapa ruangan di lantai atas. Di tempat ini, Karin selalu merasa bulu kuduknya berdiri. Ia merasa seperti sedang dilihat seseorang. Seseorang yang tak kasat mata.
Ia juga seperti mencium bau wewangian yang tak jelas di tempat itu.
Dan hari itu, berjalan normal. Tak terlalu sulit buatnya menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang baru pertamakali dikerjakannya.
Hanya satu keanehan yang dirasa oleh Karin adalah ketika pulang. Ia merasa pundak dan kepalanya terasa sangat berat.
“Mungkin kecapekan aja kali mbak,” kata Mama.
Karin juga berpikir seperti itu awalnya. Tapi malam itu ia juga mulai merasa kehilangan selera untuk makan. Padahal, ia sama sekali tak makan sejak siang tadi.
**
Karin tersenyum melihat Yuli yang berdiri di depan toko. Teman akrabnya itu sepertinya sungkan untuk masuk, dan memilih untuk menunggunya datang.
“Udah lama?” kata Karin.
“Lumayan,” jawabnya pendek.
“Masuk yuk. Tapi ibu kayaknya belum dateng. Mobilnya belum ada,” kata Karin.
Yuli dibawanya masuk. Beberapa karyawan lama juga sudah ada di dalam. Tapi seperti juga kemarin. Mereka acuh tak acuh dengan kedatangan karyawan baru. Jangankan bicara, untuk senyum pun seperti sulit sekali buat mereka.
“Kok gua seperti ada yang aneh ya,” begitu kata Yuli tiba-tiba.
Karin menatap heran wajah sahabatnya itu. “Aneh gimana?” katanya.
Tapi yang ditanya hanya diam. Seperti tak berani melanjutkan ucapannya.
Tak lama, wanita pemilik toko datang dengan anak perempuannya. Ia berusia sekitar 30 tahun. Wajahnya cantik tapi kulit di tubuhnya seperti banyak luka yang mengering seperti koreng.
Ia juga tak dapat berjalan. Untuk kemana-mana, ia selalu menggunakan kursi roda. Meski begitu, ia tampak ramah dan bersahabat.
Wanita yang belakangan Karin tau bernama Melani itu lalu mengajak Yuli ke ruangan kasir. Karin tau mereka tengah bicara soal gaji.
Toko usaha dagang itu sangat ramai. Perputaran uang sangat cepat di tempat itu. Bahkan Ibu Melan sampai memperkerjakan empat orang sebagai kasir.
Karin dan Yuli berupaya beradaptasi dengan pekerjaan barunya. Yuli yang awalnya aneh, mulai bersikap normal.
Demikian juga Karin. Apalagi Ibu Melani terkesan sangat sayang dengannya. Sikapnya lembut dan sangat perhatian. Karin sendiri seperti merasakan ada perbedaan perlakukan antara dirinya dengan karyawan yang lain, khususnya wajah-wajah lama.
Dan ketika pulang kerja, Karin sadar ia diperlakukan lebih istimewa.
Ternyata Yuli, sahabatnya itu hanya mendapat upah Rp50 ribu per hari. Tanpa tambahan transport dan uang bonus seperti yang dijanjikan Ibu Melan pada dirinya.
“Emang kamu berapa?” tanya Yuli. Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Karin terkejut.
“Sama aja,” jawab Karin seraya berusaha tak menunjukkan rasa kagetnya.
Karin tak ingin bercerita perbedaan gaji antara dirinya dan Yuli. Ia khawatir keterusterangan itu nantinya malah akan melemahkan semangat kerja temannya itu.
Buat Karin, kehadiran Yuli sangat membantunya. Bekerja di tempat baru, dengan suasana yang serba kaku, Karin jelas butuh seorang teman yang sehati untuk berbagi cerita.
**
“Gua pengen berhenti kerja.” Begitu isi pesan chat Yuli yang masuk ponsel Karin selepas maghrib.
“Kenapa?…baru juga kerja dua hari.” balasnya.
“Gua merasa ada yang aneh di toko. Kebetulan ada bibi gua yang ngerti soal gitu-gitu. Dia bilang, di tempat kita kerja itu ada penunggunya. Jahat,” katanya.
“Gua diminta berhenti sama bibi. Gua juga nyaranin elu berhenti,” tulisnya.
“Kalau elu gak percaya, biar elu nanti gua bawa ke tempat bibi gua,” katanya lagi.
Karin tak menjawab pesan itu. Ia memang tak percaya dengan cerita mistik yang diceritakan Yuli. Di sisi lain ia sangat butuh pekerjaan itu.
Diceritakan juga soal isi chat Yuli itu pada papa dan mamanya. Dan seperti juga Karin, kedua orangtuanya juga tak percaya dengan hal mistis seperti itu.
**
Hampir lepas tengah malam, Karin terkejut melihat penampakan seseorang wanita dengan wajah menyeramkan menatap dirinya.
Kondisi kamar memang gelap saat itu. Tapi Karin tahu, jarak antara dirinya dengan wanita berbaju putih itu sangat dekat. Sekitar dua kali ukuran panjang tangan orang dewasa.
Ia ingin menjerit dan membaca sesuatu. Tapi tak ada sepatah kata yang bisa keluar dari mulutnya. Sementara wajah hancur itu terus menatap seperti ingin menelannya bulat-bulat.
Ia memejamkan matanya. Berharap itu hanya mimpi. Tapi ketika beberapa detik ia memberanikan diri membuka kembali matanya, wanita itu masih berdiri di sana, dan terus menatap dirinya.
Di saat ketakutan itu berada di puncaknya, tiba-tiba satu tangan memegang tubuhnya.
“Rin, kamu kenapa nak?” kata Mama yang terbangun akibat kegelisahan tidur anaknya.
Malam itu, Karin memang tidur dengan mamanya di kamar.
Karin seperti orang yang terjaga dari tidurnya. Ia tak menjawab pertanyaan ibunya. Ia masih ketakutan dengan peristiwa yang baru dialaminya.
Mama mengambil segelas air putih. “Ini minum dulu,” katanya.
“Kenapa mbak?” kata Mama lagi seperti penasaran dengan sikap Karin.
Diteguknya air itu. Tapi Karin tetap membisu. Ia sepertinya tak sanggup menceritakan kejadian itu pada mamanya malam itu.
“Ya udah. Sekarang tidur lagi aja. Besok kan mau kerja pagi,” katanya.
Ketika mama beranjak ingin mematikan lampu, Karin melarangnya.
“Mama, jangan dimatiin. Biar lampunya tetap hidup,” katanya.
Mama agak terheran mendengar permintaan itu. Sebab, puterinya itu biasanya selalu mematikan lampu ketika tidur.
Tapi mama tak bertanya.
“Ya udah, kita tidur lagi. Jangan lupa baca doa,’ katanya.
Karin mengangguk dan melanjutkan tidurnya. Tapi baru satu jam kemudian ia baru benar-benar bisa tertidur pulas.
**
Ini adalah hari keempat Karin bekerja. Seperti juga hari-hari sebelumnya, ia selalu merasakan kelelahan yang luar biasa seusai pulang dari toko. Padahal, ia sudah cukup menjaga makannya sebelum berangkat plus asupan vitamin yang diberikan mamanya.
Tapi semakin hari kondisi tubuhnya semakin tak karuan. Nafsu makannya nyaris hilang. Ia juga merasa berat untuk melakukan ibadah. Sesuatu yang selalu rajin ia kerjakan di hari-hari sebelumnya.
Keluarga pun heran melihat kondisi Karin. Khususnya mama.
Sebegitu menguras energikah bekerja di toko itu hingga Karin merasa begitu amat lelah. Padahal, pekerjaanya bukan seperti buruh yang memerlukan banyak otot.
Ia juga tidak di bawah tekanan kerja. Selama bekerja di tempat itu, Karin bahkan tak pernah melihat bos marah-marah.
Sejujurnya, Bu Melan malah memperlakukan dirinya dengan baik, bahkan lebih baik dari karyawan toko yang lain. Perhatian yang menurutnya agak berlebihan.
*
Begitu lelahnya Karin hingga ia tertidur tanpa sempat membaca doa. Dan kejadian mengerikan itu kembali terulang.
Menjelang dinihari, sosok menyeramkan itu kembali datang. Seperti hari sebelumnya, wanita dengan rambut panjang menjuntai yang sebagian menutup wajahnya itu hanya berdiri dan menatap dengan pandangan dingin.
Karin sangat ketakutan dan ingin menjerit.
Tapi ia tak sanggup melakukan itu. Ia tak punya daya. Bahkan untuk memanggil mama, yang tidur di sebelahnya.
Dipejamkan terus matanya. Dan entah berapa lama Karin dikungkung rasa takut seperti itu. Sampai mama kembali menguncang tubuhnya.
“Mbak…mbak, kenapa nak?” katanya.
Karin memeluk mamanya. Menangis.
“Mama, ada perempuan tadi di sini,” kata Karin. “Wajahnya serem,” lanjutnya.
Mama langsung melihat sekeliling. Meski gelap, ia tak melihat ada yang janggal di kamar itu.
Tapi puterinya tak mungkin berbohong.
Bulu tengkuk mama meremang. Mulai muncul rasa takut di hatinya.
Tak pernah ia melihat puterinya seperti itu. Ia dan puterinya bahkan tak pernah melihat penampakan hantu seumur hidupnya. Dimana pun tempat, termasuk rumah. Tapi kenapa sekarang bisa seperti ini?.
“Papa….!” teriaknya.
Papa yang semula tak percaya dengan cerita gaib, juga kebingungan dengan cerita anaknya. Tapi ia tak juga melihat kebohongan di mata Karin.
Dan malam itu, tak ada satu pun dari mereka yang dapat melanjutkan tidurnya. Kecuali Bono, adiknya.
**
“Anakmu ada yang nempel,” kata Bude Nining pada mama.
Bude Nining masih terhitung saudara dari mama. Ia dipanggil datang selepas Isya usai mama bercerita kondisi Karin dalam beberapa hari terakhir.
“Ini sangat serius. Harus segera diusir,’ katanya lagi.
Mama terdiam mendengar ucapan itu. Sebab, sebelum bude Nining mengatakan itu, ia pun sudah berkeyakinan anaknya tengah diganggu siluman.
“Kita usahakan untuk pergi. Kalau dibiarkan begini, anakmu mungkin nggak selamat dalam seminggu ke depan,” katanya lagi
Bude Nining lalu mengambil sejumlah alat dari dalam plastik keresek yang dibawanya.
Didekatinya Karin. Mulutnya terlihat berkumat kamit, membaca sesuatu.
Ada keheningan yang mencekam malam itu.
“Pergi kamu,” kata Bude Nining.
Ia mengucapkan itu di depan Karin yang juga duduk di depannya.
Sementara papa dan mama berdiri tak jauh dari mereka.
Karin sadar dengan semua kejadian itu. Tapi tak dapat berbuat apa-apa. Ia pun terheran kenapa wajahnya menggeleng ketika Bude memberi permintaan itu.
Kembali suasana hening.
“Sekali lagi, saya minta kamu pergi dari anak ini,” katanya lagi.
Tubuh Karin tak bergeming. Namun, mulutnya terlihat menyeringai. Seperti mengejek apa yang dilakukan Bude Nining.
“Pergi atau kupaksa kau pergi,” ancam bude.
Karin kembali menyeringai.
Bude Nining kehabisan kesabaran. Ia lalu mengambil kain yang dibawanya dalam plastik kresek. Dengan mulut yang terus berkomat-kamit, wanita yang hampir berusia 60 tahun itu lalu memasukkan kain itu ke atas kepala Karin.
Bersamaan dengan itu, Karin berteriak kesakitan. “Aaaaa….,” jeritnya sebelum terkulai pingsan.
*
“Bude sarankan tak usah lagi bekerja di sana,” kata bude Nining pada mama.
“Kenapa de?” tanya mama.
“Yang nempel pada anakmu ini berasal dari sana,”. “Dia masuk sejak hari pertama Karin bekerja,”.
“Beruntung, anakmu ini ada pelindungnya,” katanya.
Mama terkejut mendengar penuturan itu.
“Siapa de?” katanya.
“Dari nenek buyutnya. Beliau sudah mendampingi anak ini sejak lama.”
“Tapi siluman ini sangat kuat dan keras,”
“Seperti kukatakan tadi. Jika dibiarkan terus menerus, akan membahayakan nyawa anakmu,” ujarnya.
Mama mengangguk dan tak tahu harus berkata. Apalagi melihat anaknya terkulai dengan wajah sangat pucat.
“Terimakasih bude,” katanya.
**
Sekitar 10 KM dari rumah Karin, Melan tertidur pulas di kasur empuk rumah mewahnya. Hanya ada dia sendiri di dalam kamar.
Tiba-tiba saja, ia terbangun. Instingnya merasa ada sesuatu yang masuk ke dalam kamarnya. Sosok siluman yang selama ini mengikat perjanjian dengannya.
Ia membuka matanya dan melihat sosok itu berdiri di sudut kamarnya. Diam tak bergerak.
Wanita yang terlihat awet muda itu beringsut dari tidurnya dan duduk di tepian ranjang.
“Nyi..” katanya.
Tubuhnya sedikit membungkuk saat mengatakan itu, seperti memberi hormat.
Sosok di depannya itu berwujud perempuan. Dan sejak awal mengikat perjanjian, Melan selalu menyebut sosok itu dengan panggilan ‘Nyi’.
Perjanjian dibuat sejak puluhan tahun lalu. Perjanjian yang membuatnya kaya raya. Namun sebagai imbalan agar kekayaannya tetap langgeng, Melan harus menyiapkan tumbal. Tumbal berupa wanita muda yang masih perawan.
Sosok menyeramkan itu masih berdiri tanpa bicara.
Selama lebih dari 20 tahun mengikat perjanjian, pertemuan malam itu bukanlah yang pertama. Tapi Melan sadar, jika ‘Nyi’ muncul di hadapannya, pasti ada sesuatu yang diinginkannya. Permintaan yang berat dan pasti menyulitkannya.
“Anak itu tak bisa,” kata mahluk itu tiba-tiba.
Suaranya berat dan dingin. Suara yang tetap membuat bulu kuduk Melan meremang berdiri meski sudah lama mengenalnya.
“Kenapa nyi?” katanya. “Adakah ia sudah tidak perawan?”
Mahluk itu tak menjawab.
“Aku ingin yang lain,” katanya.
Melan terdiam sejenak.
“Akan saya siapkan nyi,” jawabnya.
“Ya, kau harus siapkan segera atau nyawamu sebagai gantinya,” katanya.
Dan mahluk itu menghilang dari pandangannya.
Begitulah Melan. Setelah malam itu, ia kembali mencari dan mencari seorang perempuan muda sebagai syarat mempertahankan hartanya yang terus bertambah.
Ketamakan membuatnya lupa jika suatu saat ia akan mengalami hal yang sama dengan manusia lainnya, yakni kematian. (*)
Redaksi: sebagian cerita diambil dari kisah seorang perempuan muda beberapa tahun lalu.
GIPHY App Key not set. Please check settings