RINDU tercekat melihat pemandangan mengenaskan di depan matanya. Kakinya gemetar dan nyaris terjatuh jika tubuhnya tak segera dipegang oleh Paman Ganjar, adik papanya.
Setelah agak lama memejamkan matanya, ia kembali membuka kelopak matanya yang basah. Berharap pemandangan di depan hanya mimpi. Namun, jeritan dan kepanikan pamannya memastikan bahwa itu bukan ilusi. Kenyataan yang harus diterimanya dengan hati yang hancur.
*
Sore itu, sepulang kuliah, Rindu mendapati pintu rumahnya terbuka. Agak aneh. Ini bukan kelaziman mama yang selalu teliti dan detail. Apalagi menyangkut soal keamanan rumah.
Belum lagi ia masuk, pamannya datang dengan motornya.
“Baru pulang Rin?” katanya.
Rindu tak sempat menjawab. Matanya fokus pada pintu rumah. Apalagi sekilas ia melihat bercak-bercak merah, yang diduga darah di atas keset.
“Assalamuaikum” katanya.
Tanpa ada yang menjawab, Rindu mendorong pintu.
Dan ketika pintu terbuka lebar, tampaklah pemandangan mengerikan.
Mamanya tergeletak di lantai penuh lumuran darah. Dan sebilah pisau menancap di bagian leher. Tertanam hingga setengah.
Rindu terhuyung. Dadanya bergemuruh, dan kakinya gemetar. Ia tercekat. Mematung. Bahkan tak ingat untuk menangis atau berteriak mengumpat pelaku yang tega menghabisi nyawa mamanya.
Ia memejamkan matanya, dan kembali membukanya semenit kemudian, berharap pemandangan di depan matanya hanya sebuah mimpi. Namun, jeritan dan kepanikan pamannya memastikan bahwa itu bukan ilusi.
“Tolonggg…” terdengar Pamar Ganjar berteriak di depan rumah. “Ini ada pembunuhan….tolong!!” katanya sekeras-kerasnya.
Paman kembali masuk ke dalam. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi papa yang ketika itu tengah berada di Jakarta.
Tak sampai hitungan menit, warga berkerumun. Namun tak banyak yang mengambil peran membantu keluarga kecuali berkerumun dan mengambil gambar layaknya wartawan.
Rindu tetap berdiri di tempatnya. Mematung. Tak tahu harus berbuat apa. Yang pasti, hatinya sakit. Hancur sehancur-hancurnya.
Tak lama, sirine mobil polisi datang ke lokasi. Petugas berseragam coklat dengan beberapa tim Inafis langsung mengidentifikasi jenazah. Police line dipasang, dan membatasi pengunjung di lokasi utama.
Hampir satu jam melakukan identifikasi, Kompol Raffi, kepala unit kriminal dari Polresta, mengaku menemukan sejumlah kejanggalan di lokasi.
Analisis pertama, pintu rumah tak mengalami kerusakan. Hal yang memberi indikasi bahwa korban mengenal pelaku.
Kedua, sejumlah barang berharga seperti laptop, ponsel juga tak hilang. Bahkan, masih terlihat kalung emas di leher korban.
“Sayang, tidak ada CCTV di rumah ini?” sesalnya.
**
Sehari setelah tahlillan hari ke-40 kematian mama, Rindu melihat papanya duduk termenung di teras rumah.
Rindu berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.
Papa melihat sekilas. Tersenyum. Tapi senyumnya terlihat getir.
Sejenak kemudian matanya kembali melihat ke depan. Kosong. Seperti tengah memikirkan sesuatu.
“Sudah lebih dari 40 hari, tapi polisi belum juga menemukan titik terang,” katanya memecah kesunyian di antara mereka.
Rindu mengangguk. Tapi tak ada sepatah kata keluar dari mulutnya.
Angannya menerawang ke belakang. Teringat lagi kehangatan dan kasih sayang mamanya yang selalu ia berikan semasa hidup, sirna dalam sekejap. Yang menyedihkan, mama berpulang dengan cara seperti itu.
“Polisi kesulitan. Tak ada satu pun yang melihat siapa yang datang di hari itu,” kata papa membuyarkan lamunan Rindu.
“Apa gak ada tetangga yang memiliki CCTV di area depan rumahnya. Siapa tau bisa jadi bahan petunjuk?” kata Rindu pada papanya.
“Di rumah Pak Andre, ada CCTV terpasang menghadap jalan. Polisi sudah menyusuri. Tapi entah kenapa, alatnya juga tengah mengalami kerusakan di hari itu,” jawab papa.
Papa lalu mengungkap penyesalannya tak memasang CCTV di rumah. Menyesali mengikuti larangan isterinya yang menolak ada kamera pengawas.
Minimnya alat bukti dan saksi membuat kasus sulit dikembangkan. Beberapa kerabat mengusulkan ide ‘nyeleneh’ dengan menanyakan langsung peristiwa itu kepada korban dengan cara yang gaib.
Tapi papa menampik usulan itu. Menurutnya, mendatangi dukun saja sudah tidak dibenarkan dalam agama. Apalagi jika mempercayai ucapannya.
“Jin yang dia tanya pasti punya niat jahat. Mengadu domba kita. Menyebutkan ciri yang tak jelas dan samar tentang gambaran pelaku. Dan kemudian kita memakai ciri itu untuk bercuriga pada si ini atau si itu,” kata papa.
Menurut papa, keterangan dukun itu juga tak akan memberi banyak manfaat, kecuali menumbuhkan kebencian. Karena polisi tidak akan menggunakan hasil penerawangan si ‘orang pinter’ untuk membantu penyidikan.
“Keterangan dukun, paranormal atau apalah namanya, hanya akan menumbuhkan kebencian di hati kita. Lebih baik kita percayakan saja ini pada polisi,” katanya. (bersambung)
GIPHY App Key not set. Please check settings