in

Rindu (bagian II)

RINDU adalah seorang mahasiswi Fakultas Hukum. Meski anak tunggal, ia dididik tak cengeng dan mandiri. Punya kemauan yang keras dan tak gampang menyerah.

Papanya, Bambang adalah seorang kontraktor. Masih muda. Baru 52 tahun. Ia mengerjakan banyak proyek di dalam hingga luar. Itu sebabnya, ia kerap pergi ke luar daerah.

Sebagai anak mandiri, Rindu berinisiatif mengambilalih tugas rutin mamanya. Mencuci, nyetrika, dan lainnya. Pekerjaan yang melelahkan. Tapi ia menerima itu sebagai bagian dari konsekuensi kehilangan seorang mama.

Meski hidup berkecukupan, sejak dulu, mama memang anti pakai ART (asisten rumah tangga). Semua dikerjakan sendiri.

“Itung-itung buat mama olahraga,” katanya ketika ditanya Rindu soal alasannya tak memakai jasa ART.

**

Hingga suatu sore, Rindu dikejutkan dengan kedatangan papa bersama seorang wanita muda.

“Ini kenalkan. Namanya Mbak Win. Mulai hari ini, dia yang akan mengerjakan tugas-tugas rumah,” kata papa.

Rindu berdiri mematung. Dilihatnya lagi wanita yang ditaksir berusia 35 tahun itu. Meski terlihat sederhana, tapi wajahnya cantik dengan kulit putih bersih. Tubuhnya juga padat berisi.

“Wanita dengan wajah cantik seperti ini apa iya seorang pembantu,” batinnya.

Ia sekali lagi mengamati. Mulai dari kepala hingga kaki.

“Apa tinggal di sini juga pa?” kata Rindu.

“Iya. Dia akan tinggal di sini, menemani kamu. Dia akan menempati kamar belakang. Jadi kalau papa pergi ke luar kota, papa bakal tenang hati karena kamu ada yang nemenin,’ jawabnya.

“Semoga Mbak Rindu bisa betah sama saya ya,” katanya sambil tersenyum.

Rindu mengangguk kecil. Sedikit ia memaksakan untuk memberi senyum pada wanita itu.

“Papa nemu dimana?” kata Rindu pada papanya.

Papa tersenyum. “Seorang teman lama yang memberi rekomendasi,” jawabnya.

Aneh. Rindu tak sepenuhnya percaya ucapan itu. Tapi untuk menuduh papanya yang tidak-tidak, ia jelas tidak berani.

**

Beberapa hari bersama, Rindu mulai menilai positif ART barunya.  Wanita itu sangat rajin dan terampil. Setelah kehadirannya, rumah selalu terlihat resik dan nyaman.  Bahkan ketika bangun pagi, Rindu sudah mendapati sejumlah sarapan enak terhidang di meja makan.

Itu semua mengingatkan Rindu pada mamanya di saat hidup.

Setelah tiga bulan berlalu, perlahan mulai terkikis kecurigaan pada ART baru yang cantik itu. Tak ada alasan buat Rindu terus menjaga jarak dan bersikap acuh tak acuh. Sebab, itu bukan sifatnya.

Suatu hari, lepas tengah malam, Rindu mendadak sakit perut. Sepertinya ia terlalu banyak memberi sambal pada bakso yang dibawa papanya selepas isya tadi.

Ia bergegas menuju kamar mandi di belakang. Namun, sayup-sayup ia mendengar suara orang yang tengah beradu birahi.. Kecil namun jelas terdengar di keheningan malam itu. Dan ia yakin suara itu berasal dari kamar Mbak Win.

Namun karena tergesa-gesa ingin menuntaskan hajatnya, Rindu tak sempat untuk melakukan menyelidiki.

Baru, setelah selesai, ia kembali memasang kupingnya. Tapi kamar mbak cantiknya itu sudah kembali hening.

Dan Rindu melanjutkan tidurnya.

*

“Semalam saya dengar ada suara dari kamar mbak. Seperti suara orang lagi ngobrol?” kata Rindu

“Masa sih mbak Rin?. Saya tak denger apa-apa,” jawabnya.

Rindu melihat wajah pembantu cantiknya. Ingin memastikan dia tidak berbohong.

Namun wanita itu membuang wajah. Seperti tak mau beradu pandang.

“Kedengerannya dimana Mbak Rin?” katanya.

“Dari kamar Mbak Win,” jawabnya.

“Ah masa. Saya tidur dari jam 10. Bangun-bangun jam 4 tadi. Saya tak denger apa-apa,” ujarnya.

“Papa kemana?” kata Rindu menyelidik.

“Papa sudah berangkat sejak subuh. Tadi bawa tas agak besar. Katanya mau ke Kalimantan,” jawabnya.

Rindu terdiam, tak menanggapi. Tapi kecurigaan yang sempat hilang pada asisten rumah tangga cantiknya itu mulai muncul lagi.(bersambung)

Written by saf

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Tim Kawannya Kalah Sepakbola Tarkam, Puluhan Oknum Brimob Ngamuk, Polda Lampung Minta Maaf

Lusa, Tarif Kapal Eksekutif Naik