MAULID Nabi Muhammad SAW merupakan sebuah perayaan yang telah menjadi tradisi umat muslim di seluruh dunia. Dilakukan sebagai bentuk ungkapan syukur umat muslim atas kelahiran Rasulullah SAW.
Tapi tahukah, siapa yang pertamakali menggelar peringatan maulid nabi di dunia dan di Indonesia?
Mengutip dari situs Kementerian Agama RI, Maulid Nabi berasal dari dua kata Arab yakni “Maulid” dan “Nabi”.
Kata Maulid mempunyai arti yang sama dengan kata milad yang berarti “kelahiran” sementara Nabi yang disebutkan merujuk pada Nabi Muhammad SAW.
Dari pengertian itulah Maulid Nabi dapat dipahami sebagai kegiatan merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dilakukan dengan mengenang kembali kisah dan perjuangan Rasulullah SAW.
Melansir dari laman resmi Nahdlatul Ulama, dari buku Sejarah Maulid Nabi (2015) yang ditulis oleh Ahmad Sauri, disebutkan bahwa merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab sejak tahun kedua Hijriyah.
Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn Al-Jauzi, Ibn Kathir, Al-Hafizh Al-Sakhawi, Al-Hafizh Al-Suyuthi dan lainnya telah sepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan Al-Muzhaffar.
Sultan Al-Muzhaffar adalah salah satu penguasa yang bijak dan dermawan di Irbil. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam Jalaluddin Abdurahman as-Suyuthi (wafat 991 H) dalam kitabnya:
Artinya: “Orang yang pertama kali mengadakan seremonial itu (maulid nabi) adalah penguasa Irbil, yaitu Raja Muzhaffar Abu Said Kuukuburi bin Zainuddin Ali ibn Buktitin, salah seorang raja yang mulia, agung, dan dermawan. Dia juga memiliki rekam jejak yang bagus. Dan, dia lah yang meneruskan pembangunan Masjid al-Muzhaffari di kaki gunung Qasiyun.” (Imam as-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawi, [Beirut, Darul Fikr: 2004], juz I, halaman 182).
Mulai saat itu, perayaan Maulid Nabi yang biasa dirayakan pada bulan Rabiul Awal menjadi tradisi umat Islam di seluruh dunia dari masa ke masa hingga saat ini.
Terkait sejarah Maulid Nabi ini, ada pihak lain yang mengatakan bahwa Sultan Salahuddin Al-Ayyubi adalah orang yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi. Ia ada seorang pemimpin yang tahu bagaimana menyentuh hati rakyat jelata.
Mengutip laman Kemenag Aceh, Sultan Salahuddin pada kala itu membuat perayaan Maulid dengan tujuan membangkitkan semangat umat Islam yang telah padam untuk kembali berjihad dalam membela Islam pada masa Perang Salib.
Peringatan Maulid Nabi di Indonesia sendiri mulai berkembang di masa Wali Songo atau sekitar tahun 1404 Masehi. Kemudian terus berlanjut sampai sekarang.
Perbedaan Pendapat Ulama
Perayaan maulid Nabi hingga kini masih menuai pro dan kontra. Ada yang membolehkan, ada juga yang melarangnya dengan mengatakan bahwa hal itu adalah perkara bid’ah.
Sedari dulu, para ulama memang berbeda pendapat terkait hal ini. Maka seharusnya kita lebih bisa berlapang dada terhadap saudara seiman yang berbeda pendapat.
Anggota Pusat Fatwa Internasional Al-Azhar Syekh Abdul Qadir al-Tawil menjelaskan terkait dalil dibolehkannya merayakan Maulid Nabi.
Dari Abu Qatadah al-Anshari, dia berkata, Nabi ditanya tentang puasa di hari Senin. Beliau menjawab, “Itu adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus menjadi Rasul, atau diturunkan kepadaku (wahyu).” (HR Muslim)
Terlepas dari hal itu, al-Taweel menambahkan hal yang tepat dalam memperingati Maulid Nabi adalah menghidupkan malam dengan Alquran dan berzikir. Dia mengatakan Rasulullah biasa merayakan hari lahirnya dengan berpuasa setiap Senin. Selain itu, Rasulullah juga merayakan puasa Asyura untuk merayakan pembebasan Musa AS dari Firaun.
Ulama berikutnya yang berpendapat mengenai maulid Rasulullah adalah Imam As-Suyuti. Beliau menjelaskan, perayaan maulid adalah bid’ah hasanah karena biasanya diisi dengan perbuatan-perbuatan baik, seperti membaca Alquran, hadist dan berkumpul bersama saudara Muslim lain.
“Menurutku bahwa perayaan Maulid Nabi dengan cara berkumpulnya sekelompok manusia, membaca Alquran, membaca hadits Nabi, kemudian dihidangkan makanan untuk para hadirin maka ini termasuk perbuatan bidah hasanah yang pelakunya mendapatkan pahala. Sebab dalam perayaan tersebut ada unsur mengagungkan Nabi SAW, menampakkan kebahagiaan dan senang dengan kelahiran Nabi,”
Sementara itu, Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani mengakui bahwa kegiatan yang berlangsung tahunan ini merupakan perkara bid’ah. Namun, kata beliau, jika pelaksanaannya dilakukan dengan kegiatan baik dan menghindari amalan yang mengandung dosa, maka Maulid Nabi merupakan bid’ah hasanah (perkara baru yang baik).
Berbeda dengan beberapa pendapat ulama di atas, Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa maulid Rasulullah adalah bid’ah yang tidak dianjurkan untuk dilakukan seorang Muslim. Hal ini karena perayaan ini tidak diajarkan dalam syariat baik di Alquran dan hadist.
“Melakukan sesuatu kebiasaan selain kebiasan syar’i seperti menghidupkan malam maulid Nabi, malam bulan Rajab, bulan Dzulhijjah, hari Jumat awal bulan Rajab adalah termasuk bidah yang tidak dianjurkan ulama salaf untuk melakukannya.” (detik/islampos)
GIPHY App Key not set. Please check settings